Pages

Jumat, 02 Maret 2012

Bukan Harapan Semu

Inilah sekolah impianku. khusunya kelas akselerasi. tak mudah perjuanganku untuk memasukinya. mau tau ceritanya?? singkat aja ya.. ini dia !!


...

Tersentak aku seketika, mendengar temen-temanku sedang asyik membicarakan tujuan sekolah ke jenjang yang lebih lanjut, yaitu SMA. Aku termenung. Smanip, adalah singkatan dari SMAN 1 Puri. Sekolah yang menjadi idamanku. Bukan hanya aku, tapi masih banyak orang yang berharap bisa menempuh pendidikan di sekolah itu. Apalagi sekolah itu mempunyai ikon kelas akselerasi. Pastilah, banyak orang yang tertarik untuk mengikutinya. Tak terkecuali aku.
 “Apa bisa nilai-nilaiku memenuhi syarat-syarat buat masuk Smanip?”. Gumam batinku seraya berpangku tangan.
 “Maya,ada apa se?kok diem ae?”, sentak temanku.
 Maya, begitulah sebutan namaku.
“enggak, gak papa kok Nia.oiya,  Ngomong-ngomong kamu kepengen masuk sekolah mana?” tanyaku.
 “Ya jelas Smanip lah may, kalau kamu pengennya masuk mana?” Jawabnya.
 “Sama, aku juga ingin masuk Smanip.kamu minat apa nggak buat ikut seleksi kelas aksel” tanyaku balik.
“ iya lah may, siapa yang gak punya niat untuk bisa masuk kelas itu. Apalagi kelas itu merupakan satu-satunya ikon yang ada di Mojokerto. Khususnya Smanip. Apa kamu nggak berminat?”, tanyanya balik.
Mendengar pertanyaan itu, aku teringat tentang hal yang aku lamunkan tadi yang sempat menghilang sejenak, yaitu tentang nilai-nilaiku.
“ Sebenere aku yo kepingin bisa masuk kelas aksel. Tapi, yaweslah. Dilihat ae nanti “, jawabku dengan pasrah.
Aku memang menaruh impian untuk bisa mendapatkan bangku di sekolah itu. Karena hal tersebut merupakan impiankusejak dulu. Orang tuaku pun juga sangat mendukungku. Aku juga ingin membahagiakan mereka. Apalagi ada program kelas akselerasi. Tapi percuma saja, bagiku hanya bisa bermimpi bisa masuk kelas tersebut.
 “ Yawes kalo begitu”, jawabnya dengan intonasi datar.
            Nia, ia adalah teman yang sudah lama aku kenal. Ia adalah teman sepermainanku saat aku masih kecil. Seiring waktu berjalan, aku dan dia jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Padahal, jarak antara tempat tinggalku denagn tempat tinggalnya tidak terpaut jauh. Hanya beberapa meter saja. Orang tuanya pun akrab sekali dengan orang tuaku. Setelah sekian lama jarang bertemu,  kini aku bertemu dengannya lagi karena dia adalah teman lesku.
Aku tau betul, Nia adalah anak yang pandai. Baik segi intelektual maupun sosialnya. Sehingga aku merasa minder jika bersamanya. Namun kesombongan yang tersirat darinya. Dari sembilan anak yang merupakan teman satu kelompok lesku, aku merasa paling rendah dari segi intelektual. Entah mengapa aku merasa seperti itu. Padahal, masih ada anak yang tingkat kecerdasannya lebih rendah dibandingkan aku. Aku dan Nia berbeda sekolah. Sehingga aku tak mengetahui lebih dalam tentangnya.
“eh rek, aku tak pulang sek ya. Banyak urusan ndek  rumah. Lagian waktu lesnya kan udah selesai”. Ijinku kepada teman-teman.
“iya May, ati-ati di jalan ya !”. jawab mereka.
            Dalam  perjalanan menuju rumah, aku tetap saja memikirkan pembicaraan teman-temanku tadi. Entah mengapa hal tersebut tidak dapat musnah dalam benakku. Meter demi meter telah aku lalui dengan mengayuh sepeda miniku menuju rumah.
Ketika sesampainya di rumah,
“ Assalamualaikum”, salam yang aku ucapkan sambil mengetuk pintu.
“Wa’alaikumsalam”, suara ibuku yang ternyata sedang sibuk memasak di belakang. Segera aku masuk rumah dan meletakkan tasku di kamar. Lalu, aku menuju tempat dimana ibuku sedang memasak.
“eh, wes muleh to. Ndang dicepak-cepakne piring,sendok, karo gelas. Iki masakane wis mateng. Ayahmu sediluk ngkas yo arep muleh”. Jawab ibuku seraya meyambut kedatanganku.
“ nggeh bu”. Jawabku.
 Waktu menujukkan waktu 17.00, ayahku sudah pulang dan mempersiapkan diri untuk makan bersama-sama. 
Makan pun selesai. Aku membantu ibuku membereskan meja makan. Lalu, kami duduk bersama di ruang tamu. Kurasa ini merupakan waktu yang tepat untuk aku bercerita tentang hal yang aku pikirkan.
” Bu, kira-kira aku meneruskan ke sekolah mana?”, tanyaku pada ibuku.
“Mending melbu Smanip wae lho ya”, balasnya.
“apa nilaiku mencukupi untuk bisa masuk Smanip?”
 “yo dilihat wae nilaimu disik”.
 “nggeh bu.”
Keesokan harinya, aku datang ke sekolahku untuk melihat nilai raporku dari semester pertama sampai semester keenam. Ternyata, nilaiku cukup baik. Tidak ada yang dibawah 75. Aku begegas pulang untuk memberi tau ibuku.
“Buk, ternyata nilaiku lumayan bagus”. Ucapku dengan hati yang lega.
 “Alhamdulillah, apa sampean ga tertarik melu seleksi kelas aksel?”.
“Sebenarnya aku kepingin ikut buk. Tapi apa mungkin bisa. Nilaiku ini pun belum bisa menjadi jaminan untuk aku bisa masuk ke sekolah itu”.
“Ibu dengar-dengar  jika kamu ingin masuk kelas reguler, itu mengandalkan nilai danem, sedangkan yen sampean kepingin masuk Smanip teutama kelas akselerasi, pean  bisa mengikuti tes. Dadi,  peluangmu masuk ke sekolah favorit tersebut luwih gede soale mengandalkan nilai rapor pisan”.
 “Apa benar bu?”.
“iya, lebih baik kamu mencoba mengikuti tesnya. Syukur jika kamu bisa lolos dalam seleksi itu. Lagipula, jika jangka waktu sekolahmu lebih singkat, ayahmu masih bisa membiayaimu untuk masuk ke perguruan tinggi. Sebelum ayahmu pensiun”.
“iya bu, aku akan cari informasi lebih lanjut.”
Aku mencari infomasi dengan bertanya kepada teman-temanku. Kebetulan, Nia lebih tau tentang hal itu. Aku bertanya banyak padanya. Tapi entah mengapa, ia terkesan menutupi informasi-informasi itu padaku. Aku tak ingin berburuk sangka dengannya. Lagipula, aku bisa mendapatkan informasi dari teman-temanku yang lain.
Informasi sudah terkumpul banyak. Segera aku melakukan persyaratan yag harus terpenuhi. Rela bolak-balik ke sekolah hanya untuk memenuhi syarat-syarat itu. Aku berbincang-bincang dengan teman-temanku yang kebetulan masuk ke sekolah pada saat itu.
“nun, kamu kepengen masuk SMA mana?” tanyaku kepada Nunun. Ia adalah teman akrabku sejak pertama kali masuk SMP.
“sebenarnya aku ingin masuk Smanip, kebetulah ibuku alumni sekolah itu. Tapi aku juga ga yakin bisa masuk ke sekolah itu. Lihat aja nilaiku banyak yang dibawah standar minimal. Jadi aku berharap bisa masuk ke SMA lain yang kualitasnya juga bagus. Kalau kamu gimana may?”
“aku sih juga kepingin bisa masuk Smanip. Opo maneh sing kelas akselerasi.”
“Wah, apik iku may, kamu pasti bisa masuk Smanip. Opo maneh kelas akselerasi.”
“kowe ojo ngawur nun, aku aae nggak yakin bisa masuk. Kamu ngerti Nia teman lesku to? Jelas-jelas dia lebih pinter timbangan aku, dan dia akan jadi tantanganku saat tes nanti. Pasti kan aku iso tergeser. Yo opo se nun”.
“Awakmu pasti bisa may, ojo meremehkan dirimu sendiri. Bocahe yang pintar yo during pasti bisa lolos.” Kata Nunun yang berusaha memberkan motivasi dalam diriku.
“kamu bener juga nun.”
“oiyo, ngomong-ngomong awakmu wes beli formulir pendaftarane ta?”
“durung nun, rencanane  aku beline besok.”
“kenapa kok mbok tunda-tunda  may? Mending saiki ae beline. Keburu kehabisan nanti.” “kamu bener juga Nun. Tapi aku ga mbawa persiapa uang untuk dino iki”.
“Awakmu tenang ae may, kebetulan iki aku mbawa uang. Kamu iso nyilih disek, sesok kamu ganti”.
 “serius nun? Yawes lah aku nyilih sek ya. Sesok pasti tak ganti wes.”
“iya, ayo ndang berangkat ke Smanip.”
“iya, ayo-ayo”.
Aku beranjak melangkahkan kaki keluar kelas menuju sepeda motor untuk pergi ke smanip. Sesampainya disana, aku melihat beberapa orang yang mengantri karena tidak ingin melewatkan kesempatan untuk mendapatkan formulir. Bergegas aku membeli formulir dan menyertakan persyaratan yang harus dibawa. Alhamdulillah, aku mendapat formulir itu dengan urutan kesembilan. Sebelum meninggalkan tempat pembelian formulir, aku diberi pengarahan oleh panitia tentang jadwal dan persiapan-persiapan yang harus dibawa untuk mengikuti seleksi. Setelah berbicara panjang lebar, Aku dan Nunun pamit pulang.
“Alhamdulillah Nun, wes dapet formulire aku. Hehehe “. Kataku kepada Nunun.
“Iyo, slamet ae May dapet urutan awal-awal. Seumpama besok kamu beline, pasti lak wes rame”.
“iyo Nun, hehe.. suwun yo”.
“Iyo May, sama-sama.”
Seiring berjalannya waktu,  hari ini tepat tanggal 17 Mei. Hanya membutuhkan waktu semalam untuk menantikan waktu tes tiba.
“ya Allah, hanya satu pintaku. Kumohon jadikanlah malam ini sebagai malam yang indah untuk menyambut peristiwa di keesokan hari. Semoga besok hamba bisa menjalankan seleksi dengan baik. Amin, ya Rabb”. Doaku dimalam sebelum aku tertidur di atas ranjang dengna berselimut kain yang tebal.
Jam dinding berdetak, menunjukkan pukul 05.00. bergegas aku bangun dan mempersiapkan diri. Tak lupa aku sholat, memnjatkan doa kepada yang Maha Esa untuk mengawali hari ini.
Setelah semuanya siap,
“Buk, aku dianter nopo naik sepeda?” tanyaku pada ibuku yang kebetulan saat itu kurag enak badan.
“Kowe berangkat dewe wae yo ya. Ibuk awake rodo ra penak.” Jawab ibuku.
“nggeh pun buk, aku tak berangkat dulu”. Aku meminta ijin pada ibuku, seraya mencium tangannya.
“yo ya, ati-ati neng ndalan, nek wis mari ndang muleh ojo ngluyur ae.” Pesan Ibuku.
“Nggeh buk, aku berangkat sek nggeh, Assalamualaikum”, salamku
“iyo, jo lali berdoa disik sebelum ngerjakne. Wa’alaikumsalam” jawab ibuku.
Jam menunjukkan pukul 06.30. kurang lima belas menit lagi tes akan dimulai.Segera aku berangkat menuju tempat dimana seleksi itu dilaksanakan dengan mengendarai sepeda motor.Butuh waktu sekitar sepuluh menit menuju Smanip.
Sesampainya disana, waktu menunjukkan tepat pukul 06.40. begegas aku menuju ruangan tempatku mengikuti seleksi. Dengan terburu-buru, aku langsung memasuki ruangan yang ada dihadapanku tanpa menghiraukan apapun. Ketika sampai di ruangan tersebut, aku melepas jaket dan mengambil alat tulis kartu tanda peserta seleksi, lalu meletakkan tasku di depan. Aku teringat kata panitia saat pembelian formulir, bahwa aku peserta nomor 90. Tapi aku tidak terlalu yakin, karena pada saat pembelian formulir tersebut, pikiranku sedang bingung. Sehingga kurang memfokuskan perhatian.
Sebelum aku duduk, aku ditanyai oleh penjaga ruangan itu.
“Hei, kamu nomor urut berapa? Disini bangkunya sudah terisi penuh.” Tanyanya.
“itu pak,saya nomor urut 90.” Jawabku dengan ekspresi kebingungan.
“nomor 9o? bangkunya sudah diduduki orang lain. Mungkin kamu salah lihat. Coba kamu lihat di formulir pendataran yang kamu beli kemarin.” Pinta bapak-bapak tersebut.
“baik pak” jawabku.
Ternyata, firasatku tidak salah lagi. Aku bernomor urut 9, dan ruanganku bukan di kelas ini.
Dengan perasaan yang sangat malu, aku harus mengatakan,
“pak, saya bernomor urut kesembilan.” Kataku kepada penjaga ruangan tersebut.
“wah, kamu salah ruangan nduk, ruanganmu di sebelah sana (menunjuk arah utara), di ruang 1.” , kata Bapak tersebut.
“oh, begitu ya pak. Makasih ya pak. Maaf sempat mengganggu.”
“iya-iya, tak apa-apa”.
Segera aku membereskan alat-alat tulisku lalu memasukkannya kedalam tas dan keluar meninggalkan ruangan tersebut. Terdengar suara anak-anak yang tertawa tebahak- bahak gara- gara kejadian tersebut. Namun aku tak sebegitu menghiraukan mereka.
Segera aku memasuki ruang 1. Disana tepat tersisa satu bangku kosong, dan disitulah tempat dudukku. Ketika aku masuk ruangan itu, semua teman- teman sedang berdoa. Aku lantas mengambil alat tulisku dan duduk di bangku tersebut dan ikut berdoa.
Waktu berdoa selesai. Sebelum tes dimulai, panitia memberikan arahan. Soal dan lembar jawaban pun dibagikan. Hatiku yang sebelumnya berdegup kencang, sekarang menjadi lebih tenang.   
Mata pelajaran bahasa inggris dan IPS membuatku bingung. Karena sebelumnya aku belum mempersiapkannya dengan matang. Waktu tes pun kurang lima belas menit lagi. Sedangkan soal- soal yang diberikan masih banyak yang belum aku kerjakan. Kutoleh ke kanan dan kekiri, teman- teman yang lain terlihat lega karena sudah menyelesaikan soal- soal tersebut. Aku berkecil hati dan pasrah jika memang nantinya aku tidak lolos dalam seleksi ini. Waktu tes pun berakhir, dan lembar jawaban harus dikumpulkan. Dengan mengucapkan “Bismillahirohmanirrohim”, aku mengumpulkan lembar jawabanku. Ketika aku keluar ruangan, ada salah satu anak yang mengajakku berkenalan.
“mbak”. sapanya seraya tesenyum kepadaku.
“eh, iya mbak. Ada apa?” jawabku sambil tersenyum kepadanya.
“kenalin, namaku Tia. ,kebetulan kan kita satu ruangan.”
“oh iya, namaku Maya. oia, tadi bisa ngerjakan soal- soalnya?”, tanyaku.
“ Alhamdulillah bisa, kalau kamu May?”
“Aku nggak yakin Tia, soalnya tadi banyak soal yang ga tak kerjakan.” Jawabku.
“Yakin aja May, pasti bisa kok. Mudah- mudahan nanti kita bsa sama-sama lolos”
“Amin, makasih ya” jawabku dengan tersenyum.
“ Amin, sama- sama May. Oia, aku pulang duluan ya. Soalnya sudah dijemput ayahku.”
“Iya , ati- ati ya!”
“iya”. Jawabnya sambil tersenyum kembali padaku.
Ketika aku melangkahkan kaki,
“Maya!”. aku terdengar suara yang menyerukan namaku. Ketika kutoleh ke belakang.
“Eh, Nia!”. Kataku secara spontan. Melihat Nia yang berjalan menuju kearahku.
“Yo’opo May? Iso ngerjakn tadi?” tanyanya.
“Ya lumayan bisa. Tapi yo ngunu, akeh sing tak kosongi. Lha kamu?” tanyaku
“Cuma dua soal sing tak kosongi May. Yawes aku tak muleh sek yo.”
“Iyo, ati-ati !” Jawabku
Lagi-lagi hal itu membuatku berkecil hati. Sebelum pulang, terdengar pengumuman, “Bagi calon siswa – siswi kelas akselerasi, pengumuman lolos atau tidaknya bisa kembali lai ke SMAN 1 Puri pada tanggal  20 Mei 2011.”
Aku bergegas pulang, namun aku berpikir-pikir dahulu. “Bagaimana perasaan orang tuaku jika aku pulang dengan raut wajah seperti ini. Aku takut membuat mereka kecewe denganku. Yasudahlah, lihat saja apa yang akan terjadi nanti.” Dalam benakku. Aku mengendarai sepeda motorku secara perlahan. Sesampainya di rumah,
“Assalamualaikum.” salamku sambil mengetuk pintu rumah.
“Wa’ailaikumsalam”, jawab ibuku sambil membukakan pintu rumah.
“Piye, ngke iso po ra ngerjakne soale?” tanya ibuku kembali ketika aku mencium tangannya.
“Insya Allah buk, tapi yo ga ngerti lagi. Soale tadi banyak yang tak kosongi.”
“Lhoalah, lha kok iso kuwi lho?” Tanya Ayahku yang tiba- tiba menghampiriku.
“aku ga ngerti, mungkin yo kurang persiapan” jawabku
“owalah to ya. Rapopo wes, seumpamane ra melbu kelas aksel lak sik iso neng bangku regular to, yowes ndang ganti baju kono selak reget engko.” Ucap ibuku.
“enggeh buk”. Jawabku sambil berjalan menuju kamar.
Di dalam kamar, entah mengapa pipiku yang sebelumnya lembab karena keringat menjadi basah karena air mata. Aku tak bisa menahan air mataku. Yang ku ingin hanyalah 1, ingin membahagiakan orang tuaku.
Setiap saat aku mengeluh kepada ibuku. Ibu selalu menyemangatiku, meskipun aku tau. Bahwa hatinya sedang kecewa.
“maaf yah, Maaf Buk. Jikalau aku tidak bisa membahagiakan kalian berdua”, gumam dalam batinku.
Setiap hari aku berdoa dan memohon kepada Allah untuk mengabulkan dan memberikan yang terbaik bagiku.
Akhirnya, tanggal 20 Mei 2011 telah tiba. Di pagi itu, aku mempersiapkan diri menuju Smanip ditemani oleh ayahku. Sesampainya disana. Aku melihat banyak calon siswa-siswi yang didampingi oleh orang tuanya. Termasuk aku. Sekitar dua puluh menit menunggu, daftar calon siswa-siswi yang lolos menjadi siswa kelas aksel ataupun kelas reguler ditempel di papan pengumuman. Segera kami semua berlarian untuk melihat daftar  tersebut.
Pertama, aku melihat  daftar siswa-siswi yang masuk kelas reguler. Kupandangi secara urut dari nomor urut terendah sampai tertinggi. Tapi entah mengapa tidak ada namaku terpajang dalam daftar tersebut. Yng kulihat yaitu nama Nia yang tercantum dalam daftar itu. Hatiku semakin tagang karena takut jika aku benar-benar tidak lolos masuk kelas aksel ataupun regular.
Seketika, ayahku bilang bahwa aku masuk lolos masuk kelas aksel. Tapi aku menganggap bahwa itu hanyalah lelucon saja untuk menghiburku. Aku menunggu sampai suasana agak sepi agar aku bisa melihat daftar nama saswa yang lolos masuk kelas aksel. Dan ternyata benar, aku bisa masuk kelas aksel walaupun dengan nomor urutan terendah dari 15 siswa.
“Alhamdulillah” ucapku secara spontan sambil tersenyum lega, ketika aku tau bahwa aku lolos.
Disana aku melihat ibu Nia yang sedang berbincang-bincang dengan orang lain. Sebenarnya aku dan ayahku bermaksud untuk menghampiri. Namun beliau pura- pura tidak mengetahui keberadaanku dan ayahku.
“yowes ayo ndang muleh ae” kata ayahku dengan menggandengku.
“tapi enten ibuke Nia yah.” Jawabku.
“yowes ben, wonge sik omong-omongan karo wong liyo.” Kata ayahku.
Aku dan ayahku bergegas pulang dengan perasaan lega. Sesampainya di rumah, ibu menyambutku dan bertanya
“piye ya? Lolos po ra?”
“Alhamdulillah lolos buk” jawabku sambil tersenyum.
“Alhamdulillah” jawab Ibuku sambil tersenyum gembira dan memelukku.
“Mangkane, setiap berusaha kuwi kudu berpikiran sing pisitif, ojo pesimis wae “ pesan Ibuku.
“Enggah Buk” Jawabku. 

Moga jadi motivasi ya :)

1 komentar: