Pages

Kamis, 01 Maret 2012

Karya Sederhana

Mutiara Kecil
“roti goreng….. roti goreng!”
“pak.. buukk… tumbas roti?”
Begitulah kata- kata yang terucap dari bibir Ilham. Ya, “Ilham” begitulah nama panggilannya. Seorang anak berumur sepuluh tahun dengan fisik yang lemah. Pada usianya yang masih muda, ia harus bekerja sebagai penjual roti goreng demi membantu ayahnya yang hanya bekerja sebagai kuli bangunan. Penghasilan dari menjual roti goreng maupun bekerja sebagai kuli bangunan terkadang belum cukup memenuhi kebutuhan bahkan untuk memperoleh sesuap nasi sangatlah sulit mendapatkannya.
Ilham tak melupakan sekolahnya, ia memulai untuk bekerja saat pulang sekolah sampai senja bahkan malam hari.
Namun kali ini, hujan turun dengan derasnya. Air hujan yang menjatuhi rumah kecil tempat tinggal Ilham dan ayahnya di sudut kampung yang sebenarnya tak layak huni. Ayahnya sibuk mencari ember- ember kecil untuk menampung tetesan air hujan yang semakin lama semakin banyak seraya menunggu kedatangan Ilham yang tak kunjung pulang ke rumah.
“Tok.. took .. Assalamualaikum..” terdengar suara tersebut yang mengagetkan hati Ayah Ilham.
”Wa’alaikumsalam” jawab ayah Ilham sambil membukakan pintu rumah.
Dilihatlah dihadapannya, Ilham kecil yang basah kuyup, serta menggigil karena kedinginan.
“Ilham, cepat masuk!” Seru ayah Ilham untuk menyuruh Ilham untuk segera masuk.
“hhzzzz..Iya Yah..zzzz” jawab Ilham sambil menggigil.
“Darimana saja kamu, jam segini baru pulang?” Tanya  ayah Ilham.
“Ilham tadi keliling jualan roti goreng, terus Ilham tadi kehujanan, jadi Ilham berteduh sebentar yah.” Jawabnya.
“ Lain kali, kalau awan mendung, kamu segera pulang. Jangan memaksakan diri seperti itu.” Kata ayahnya.
“Baik Yah, Ilham tidak akan mengulanginya lagi. Ilham Janji.”
“Sekarang kamu cepat ganti baju dan ambil air wudlu untuk melaksanakan sholat.” perintah  ayahnya.
“iya yah.” Jawabnya.
Ayah Ilham segera menyiapkan makan untuk malam ini. Sekedar singkong rebus, air hangat, dan sisa roti goreng yang ada di nampan yang dibawa Ilham tadi meskipun sedikit basah kerena terkena tetesan air hujan sebagai menu makan pada  malam itu. Ingin sekali ayah Ilham bisa membelikan anak satu- satunya itu susu untuk menujang pertumbuhan di usia dini. Tapi apa boleh buat, demi mendapatkan secuil singkong untuk makan saja membutuhkan perjuangan yang berat.
Ilham pun selesai mandi dan sholat. Segera ia menuju pada ayahnya yang duduk beralaskan tikar dan sudah menunggunya untuk makan malam.
“ayo, cepat kesini dan makan seadanya.” Kata ayahnya.
“Iya Yah.” Jawab Ilham yang terlihat sangat lapar dn kecapekan saat itu.
“untuk sementara waktu, mulain besok dan entah sampai kapan, kamu tidak usah usah berjualan dulu. Biar Ayah yang bekerja. Kamu bersekolah dan istirahat dirumah saja.” Kata Ayahnya ditengah- tengah waktu makan.
“Tidak apa- apa Yah. Ilham masih ingin bekerja. Lagipula, Ilham merasa kesepian kalau dirumah sendiri.” Jawab Ilham.
“ kamu jangan seperti itu nak. Perhatikan juga kesehatanmu. Jangan memaksakan diri. Lagipula kurang dua hari lagi kan kamu ulangan kenaikan kelas. Ayah tidak mau kamu sakit- sakitan lantas tidak bisa mengikuti ulangan dan menerima pelajaran dengan baik.” Nasihat ayahnya.
“Ilham tau yah, tapi Ilham pengen bekerja. Ilham hanya ingin membantu ayah.” tentangnya.
“yasudah, ayah mengijinkan kamu bekerja. Asalkan kamu berjanji pada ayah untuk tetap mementingkan sekolah dan menjaga kesehatanmu.”
“Iya Yah, Ilham janji.”
“cepat selesaikan makanmu, lantas mengambil air wudlu. Kita sholah Isya berjamaah.”
“Iya Yah.”
Makan malam pun selesai. Bergegas mereka mengabil air wudlu dan menunaikan sholat berjamaah di masjid terdekat. Sepulangnya dari masjid, mereka melihat anak kecil yang terlihat kedinginan sedang duduk dan menangis di pinggir jalan.
“Yah, itu ada anak kecil yang nangis.”kata Ilham kepada ayahnya.
“iya, ayo kita dekati.” Ajak ayahnya.
“Dek kecil, jangan menangis.. kamu sedang ngapain di situ?” Tanya Ilham untuk menyapa anak kecil itu.
“ Mama, Papa mana?” jawab anak kecil itu yang tidak menghiraukan pertanyaan Ilham dengan terus menangis.
“Rupanya anak ini tersesat dari kedua orang tuanya.” Kata ayah Ilham.
“Iya Yah, bagaimana kalau kita ajak pulang saja Yah. Kasian dia.” Pinta Ilham kepada ayahnya.
“jangan nak, bisa- bisa kita dianggap pencuri nanti. Lebih baik kita bawa ke kantor polisi saja.” Kata ayahnya.
“tapi kantor polisi jauh dari sini Yah. Kumohon yah, untuk semalam ini saja. Besok kita bantu adek kecil ini untuk mencari kedua orang tuanya. Boleh ya yah?” permohonan Ilham pada ayahnya.
“Baiklah nak, kita bawa pulang saja.” Kata ayahnya yang menyetujui permohonan Ilham karena ia terus memaksa.
Lekas ayah Ilham menggendong anak kecil tersebut untuk diajak kerumah untuk sementara beristirahat di rumah kecil tersebut. Sesampainya di rumah, anak kecil itu tetap menangis. Ilham berusaha menghibur anak tersebut.
“Cup, cup dek.. jangan nangis ya.. besok mama dan papamu kesini.. cup, cup” hibur Ilham untuk anak kecil itu. Namun, tetap saja ia menangis. Perlahan anak kecil itu berhenti menangis dan tertidur pulas.
Ayah Ilham pada saat itu sedang mendengarkan berita untuk hiburan dari radio tuanya dan sesekali membelai kedua anak yang ada dihadapannya dan melindungi mereka dari nyamuk- nyamuk yang berterbangan mengelilingi mereka. Maklum, rumah tersebut memang tak jauh dari tempat pembuangan sampah, lagipula penerangan yang ada hanya menggunakan lampu sentir yang digantungkan di setiap sudut ruangan. Jadi tak salah jika disitu pula adalah tempat yang nyaman bagi nyamuk- nyamuk untuk bersarang.
Tiba-tiba terdengar dari radio oleh ayah Ilham bahwa ada orang tua yang telah kehilangan anaknya di sekitar supermarket, dan bagi siapa yang menemukan dimohon untuk membawa anak tersebut di kantor polisi. Ayah Ilham teringat oleh anak yang ada di hadapannya.
“Mungkin yang dimaksud adalah anak kecil ini. Segera Ayah Ilham membangunkan anaknya yang pada saat itu sedang tertidur bersama anak kecil itu.
“ada apa yah?” tanya Ilham yang pada saat itu belum begitu tersadar dari tidurnya.
“ayo kita bawa anak kecil ini ke kantor polisi nak, kasihan orang tuanya mencari anaknya ini.” Jawab ayahnya.
“iya, ayo Yah”.
Bergegas mereka menuju kantor polisi sambil menggendong anak kecil itu. Melewati dingin dan sunyinya suasana ditengah malam. Sesampainya di kantor polisi, mereka melihat sepasang suami istri dengan ekspresi yang cemas sekaligus menangis.
“pak, ini saya menemukan anak kecil ini di pinggir jalan raya. Dekat supermarket.” Kata ayah Ilham kepada petugas kepolisian yang sedang bertugas pada malam itu.
Tiba- tiba sepasang suami istri yang sebelumnya duduk di luar ruangan, bergegas lari menuju ruangan tempat dimana Ilham, ayahnya, dan anak kecil tersebut berada, seraya memeluk anak kecil itu dan berkata
“Rifki.. anakku.. Ya Allah.. kemana saja kamu nak. Mama dan Papa mencarimu daritadi.” Kata perempuan tersebut sambil menangis yang ternyata adalah ibu dari anak kecil itu.
“oo.. ternyata namanya Rifky”, gumam Ilham.
“maaf Pak, bagaimana bapak bisa menemukan anak ini?” kata seorang petugas kepolisian yang saat itu mengintrogasi ayah Ilham. Lalu, ayah Ilham menjelaskan kronologi dari peristiwa tersebut. Kemudian mereka diijinkan untuk pulang.
Sebelum pulang,  orang tua Rifky mengajak berbincang- bincang.
“eh, pak pak.. tunggu dulu!” Seru Papa Rifky.
“iya, ada apa pak?” Tanya Ayah Ilham yang pada saat itu sedang menggendong anaknya .
“ini pak, kami mohon maaf sudah merepotkan bapak dan anak bapak. Perkenalkan nama saya Pak Wahyu dan ini istri saya bernama Bu Intan.” Ucap Pak Wahyu mewakili keluarga dengan memberikan amplop yang terlihat berisi sejumlah uang ke tangan ayah Ilham.
“Oh sama- sama pak, kami tidak merasa direpotkan. Kami justru senang bisa membantu sesama walaupun bukan dalam bentuk materi. Maaf pak, kami tidak bisa menerima ini. Dengan ucapan terima kasih saja sudah cukup.” Jawab ayah Ilham sambil mengembalikan amplop yang ada di tangannya pada Pak Wahyu.
“kenapa dikembalikan pak? Anggap saja ini sebagai tanda terima kasih kami kepada Bapak dan keluarga.” tanya Pak Wahyu.
“Tidak apa- apa pak. Kalau begitu, saya pamit pulang dulu ya Pak. Kasihan anak saya masih ngantuk. Permisi pak.” Jawab Ayah Ilham sembari berpamitan untuk pulang.
“kalau boleh tau, rumah Bapak sebelah mana?” Tanya Pak Wahyu.
“Disebelah sana Pak, sekitar dua kilometer dari sini.” Jawab Ayah Ilham.
“wah, kebetulan searah Pak. Kalau begitu saya antar saja Pak. Lagipula kasian anaknya kedinginan. Ini sudah tengah malam.” Pinta Pak Wahyu untuk mengantarkan Ilham dan Ayahnya pulang.
“baik Pak, maaf jika merepoti.”
“tidak apa- apa pak. Tunggu sebentar Pak.” Jawab Pak Wahyu dan bergegas mengendarai mobilnya yang sebelumnya diparkir di depan kantor polisi.
“mari Pak silakan naik” kata Pak Wahyu sambil mengendarai mobilnya.
“Iya Pak.”
Didalam perjalanan mereka berbincang- bincang tentang banyak hal. Ternyata Pak Wahtu adalah seorang penulis yang karyanya hampir semua diterbitkan diberbagai macam majalah ataupun Koran. Setelah berbincang- bincang, tak terasa sudah sampai di tujuan. Ilham dan ayahnya keluar dari pintu mobil.
“Terimakasih ya Pak mau mengantarkan kami sampai rumah.” Ucapan terimakasih Ayah Ilham pada Pak Wahyu.
“Iya Pak, sama- sama. Kami pamit pulang dulu,  kalau Bapak butuh bantuan kami, datang saja ke rumah. Jaraknya juga tidak jauh dari sini. Assalamualaikum.”
“Iya Pak, Wa’alaikumsalam”.
Sesampainya dirumah, Ilham merasa kepalanya pusing. Dan ingin berbaring sejenak
“Yah, kepalaku pusing sekali.” rintihnya.
“Kamu tidur lagi saja nak, kamu kecapekan hampir seharian tidak beristirahat dengan nyaman.” Perintah ayahnya.
“iya Yah, Ilham tidur dulu ya.”
“iya nak” jawab ayahnya.
Keesokan harinya, kondisi tubuh Ilham  kurang baik. Ia mengalami panas tinggi. Dan sering mimisan. Namun ia tetap memaksakan diri untuk bersekolah dan bekerja sebagaimana rutinitas biasanya.
“Yah, Ilham berangkat sekolah dulu.” Ilham berpamitan sambil mencium tangan ayahnya.
“sebentar, badanmu kok panas sekali? Kamu sakit ta le?” Tanya ayahnya.
“enggak Yah, Ilham sehat. Ilham berangkat dulu Yah, Assalamualaikum.”
“Wa’alaikusalam le, hati- hati ya.”
Sesampainya di sekolah, Ilham merasakan pusing yang luar biasa. Sesekali ia mimisan dan keluar asuk kamar mandi. Air dalam gayung yang semula berwarna bening, menjadi merah karena darah yang berasal dari hidungnya. Bu Fatma wali kelasnya, menghampiri Ilham dan bertanya,
“Ilham kamu kok keluar masuk kamar mandi, ada apa?” Tanya Bu Fatma pada Ilham yang pada saat itu sedang menutupi hidungnya dengan kertas tisu.
“Tidak apa-apa bu, Ilham Baik- baik saja.” Jawabnya dengan suara yang lirih.
“Kalau kamu sedang tidak enak bada, kamu bilang saja, nanti kamu bisa istirahat di UKS.” Saran Bu Fatma.
“Iya bu”.
Ilham di sekolah tergolong murid yang pandai meskipun berasal dari keluarga yang kurang mampu. Setiap kenaikan kelas, ia selalu mendapatkan peringkat pertama.terkadang, ia tidak membeli buku- buku penunjang  untuk sekolah selain dua buah buku tulis yang mampu ia beli.  Bu Fatma lah yang berbaik hati membelikan segala keperluan sekolah Ilham.
Bel sekolah berdering, waktunya pulang. Tak seperti anak- anak lain yang selepas pulang sekolah bisa beristirahat di rumah masing- masing, Ilham menggunakan waktu luangnya untuk mencari nafkah yang halal. Pada siang itu, langkah Ilham terlihat tak bersemangat seperti biasanya.  Pandangannya sedikit kabur dan pusing dikepalanya tidak dapat tertahankan. Akhirnya ia pingsan di pinggir jalan dan roti goreng yang dibawanya jatuh berserakan. Bu Fatma yang saat itu kebetulan melintas di jalan, melihat Ilham yang tergeletak lemah tak berdaya langsung membawanya ke rumah sakit terdekat. Bu Fatma pun mengunjungi  rumah Ilham untuk memberi tau ayahnya tentang kondisi anaknya. Sesampainya di tujuan,  dilihatnya ayah Ilham yang sedang membenahi atap  rumah..
“Pak…pakk!” teriak Bu Fatma memanggil Ayah Ilham.
“Iya.. eh, Bu Fatma.. Ada apa bu?” jawab Ayah Ilham dan turun dari tangga.
“Ikut saya sekarang  Pak!” perintah Bu Fatma dengan ekspresi ketakutan.
“Kemana Bu? Sebentar, saya tak membereseken peralatan ini dulu nggih.”
“Tidak usah Pak, ini cukup gawat. Mari ikut saya.” Ucap Bu Fatma sambil menggeret tangan Ayah Ilham. Peralatan pertukangan pun belum dikembalikan, seperti gergaji, paku, pali, dan lain sebagainya.
Sesampainya di rumah sakit, terlihat Ilham yang sedang duduk dan menyandarkan kepalanya pada tembok karena menunggu kehadiran Bu Fatma. Antrian masih sangat panjang. Ilham yang pada saat itu agak sadar, terlihat sangat lemah fisiknya dan tetesan darah yang masih menetes dari hidungnya.
“Ya Allah Ilham .. Nak, bangun nak” ucap ayahnya dengan menghampiri dan memeluknya sambil menangis.
“Ayah..” rintihnya.
“Iya nak, ini Ayah.” Jawab Ayahnya yang berusaha untuk tetap tegar.
Bu Fatma pada saat itu kebingungan mencari dokter yang akan menangani Ilham. Sampaipada akhirnya beliau memanggil dokter karena tidak kuas melihat keadaan Ilham. Ilham langsung dibawa ke UGD dengan menaiki tempat tidur beroda. Ayah Ilham tak henti- hentinya menangis sambil ikut mendorong tempat tidur tersebut menuju ruang UGD.
Dokter langsung memeriksa kondisi Ilham dan Ayah maupun Bu Fatma dipersilahkan untuk menunggu di luar ruangan. Ayah Ilham sangat terpukul hatinya melihat keadaan anaknya. Tidak lama kemudian, dokter keluar dari ruangan tersebut sambil memanggil orang tua dari Ilham.
“Orang tua Ilham.” Tanya dokter itu.
“iya, saya Pak” jawab Ayah Ilham yang terkesan kaget.
“Mari masuk Pak” suruh dokter itu.
Bergegas Ayah Ilham masuk ruangan itu.
“Bagaimana kondisi anak saya Pak? Sakit apa dia?” Tanyanya dengan tidak sabar menantikan kabar Ilham.
 Dokter menjelaskan, bahwa Ilham terkena Leukimia ganas. Pendarahan terus terjadi dari bekas- bekas suntikan. Pengobatannya pun menelan dana sampai  Rp. 350.000.000,00,-. Sangatlah kaget Ayah Ilham mendengar kata- kata tersebut. Sungguh jumlah uang yang tidaklah sedikit. Bahkan, biaya kehidupannya bersama Ilham dari Ilham kecil, sampai sekarang tidak terhitung sebanyak itu. Ayah Ilham pun diperbolehkan menengok anaknya dengan menggunakan pakaian khusus.
Ayah Ilham duduk di samping ranjag sambil membelai anaknya yang tidak sadarkan diri pada saat itu. Ayahnya berusaha untuk tersenyum, walaupun dalam hatinya menangis. Tapi beliau tidak ingin memperburuk kondisi anaknya hanya karena tangisannya.
“Ilham, Ayah sudah bilang. Janganlah kamu memaksakan diri untuk bekerja. Kamu masih kecil. Ayah memang salah. Membiarkanmu begitu saja.” Ucap ayahnya.
            Dalam pikiran ayahnya, tersirat sebuah kenangan masa lalu, “Andai ibumu masih hidup Nak. Tapi faktanya, beliau telah pergi untuk selama- lamanya ketika melahirkan Ilham. Belum pernah sekalipun kamu merasakan belaian lembut dan setetes ASI dari seorang ibu. Untuk memenuhi gizinya saja, hanya mengandalkan air tajin dengan kasih saying seorang ayah seperti aku. Maafkan Ayahmu ini Nak yang tidak bisa membelikanmu susu formula, sehingga sampai saat ini kondisi fisikmu sangatlah lemat. Apalagi di usiamu yang masih anak- anak seperti sekarang ini, sudah harus merasakan pahitnya kehidupan. Tapi kamu harus tegar nak. Ilham pasti kuat. Ayah berjanji untuk mencari uang itu.”
Ayah ilham berusaha untuk menyelamatkan anaknya. Dengan berbagai cara, beliau meminjam uang pada tetangga dan sanak saudaranya. Namun uang yang terkumpul sangatlah sedikit. Beliau berniat menjual rumah yang merupakan harta satu- satunya. Tapi karena rumahnya terlalu kumuh, dalam waktu yang singkat tidak bisa menemukan seorang pembeli.
Melihat mata papanya yang sedih dan pipi yang kian hari kian kurus. Dalam hati Ilham merasa sedih. Pada suatu hari Ilham menarik tangan ayahnya, air mata pun mengalir dikala kata-kata belum sempat terlontar.
"Yah saya ingin mati". Ayahnya dengan pandangan yang kaget melihat Ilham,
 "Kamu baru berumur 10 tahun kenapa mau mati".
"Ilham tak ingin melihat Ayah bekerja keras demi menyembuhkan penyakit ini, penyakit ini terlalu berat untukku Yah.”
“Tidak Nak, kamu harus tegar. Ilham harus kuat ya. Apa kamu tidak kasihan sama Ayahn jika kamu tinggal pergi?” Jawab ayahnya yang berusaha tegar dihadapan anaknya.
Ilham terdiam dan tersenyum. Senyuman itulah yang membuat ayahnya tetap kuat berusaha karena tersirat dari dalam diri Ilham harapan untuk tetap hidup.
Uang yang dikumpulkan Ayahnya sampai saat ini masih sekitar Rp. 50.000.000,00,-. Masih sangatlah banyak uang yang dibutuhkan. Sedangkan kondisi Ilham sangatlah memprihatinkan kerena belum mendapatkan  pengobatan secara intensif dari rumah sakit hanya kerena biaya.
Ilham pun mendatangani surat pernyataan keluar dari rumah sakit mewakili ayahnya yang buta huruf. Di rumhnya, Ilham hanya tergolek lemah diatas ranjang kumuhnya.
Hal ini terdengar olh Pak Wahyu yaitu seorang penulis.beliau membuat suatu karya tulis yang menceritakan kisah Ilham secara detail dan karya tersebut disebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Banyak orang-orang yang tergugah oleh seorang anak kecil yang sakit ini, dari ibu kota sampai satu Negara bahkan sampai keseluruh dunia. Mereka mengirim email ke seluruh dunia untuk menggalang dana bagi anak ini.
Hanya dalam waktu sekitar Sembilan hari, dana pun terkumpul sekitar Rp. 650.000.000,00,-.
Biaya operasi pun telah tercukupi. Titik kehidupan Ilham sekali lagi dihidupkan oleh cinta kasih semua orang.
Dana yang sudah terkumpul, membuat jiwa yang lemah ini memiliki harapan dan alasan untuk terus bertahan hidup. Akhirnya, ia dibawa ke rumah sakit lagi untuk melakukan pengobatan. Namun, dia sangat menderita didalam sebuah pintu kaca tempat dia berobat. Ilham kemudian berbaring di ranjang untuk diinfus. Ketegaran anak kecil ini membuat semua orang kagum padanya.
Namun, obat- obat yang masuk kedalam tubuhnya semakin membuat kondisinya parah. Apalagi dibandingkan dengan anak-anak leukemia yang lain. Fisik Ilham jauh sangat lemah. Suatu hari ian berpesan kepada ayahnya. Jika suatu saat ia harus pergi, ia ingin ayahnya tetap tersenyum dan tidak meneteskan air mata. Dana yang terkumpul juga diberikan untuk biaya pengobatan anak- anak penderita Leukimia seperti dirinya.
“Betapa mulianya kamu Nak, Ayah bangga kepadamu.” Gumam hati Ayahnya.
Pada keesokan harinya, Ilham telah menghembuskan nafas terakhirnya dengan jarum dan selang infus yang masih tertancap di tangannya. Semua orang pun berduka atas kepergian Ilham. Ayahnya tetap tersenyum sesuai dengan pesan Ilham sebelum ia pergi.
Dana yang terkumpul masih tersisa Rp. 500.000.000,00,-. Ayah Ilham memberikan uang tersebut pada anak penderita Leukimia lainnya. Dan akhirnya, ada dua anak yang sembuh berkat uluran dana tersebut.

Yang bisa kita angkat dari cerita diatas, 
"Jadilah sesosok Malaikat di dunia ini. bukan dengan memberikan materi, tapi hanya karena jasa dan cinta kasih yang kita miliki, kita bisa berbagi dengan orang lain."

By : Fanny Maya 










Tidak ada komentar:

Posting Komentar